Konsep Energy Monitoring system

Konsep Energy Monitoring System


Pada kesempatan kali ini saya akan penjelasan tentang energi monitoring dan bagaimana sesungguhnya benefit yang didapat.
Sebelumnya, saya akan mulai dengan 1 statement.
"Anda tidak akan bisa mereduce energi hanya dengan menginvestasi power meter, integration device,  dan memonitoring nya dalam dashboard (monitoring listrik, gas, air dan steam). Jadi investasi anda akan energy monitoring system hanya berhenti sampai di situ saja." - Victor harefa
Bagaimana sebenarnya energi dan penghematannya bermanfaat buat perusahaan, saya urutkan sebagai berikut :
energy monitoring system (EMS) , jauh lebih tenar dari pada istilah energi reduce program. Istilah EMS jauh lebih sering kita dengar daripada Energy reducing program. Karena sesungguhnya energi reducing program adalah kelanjutan dari EMS. Yang pasti semua orang ingin energi reducing program. Jadi Bagaimana me-reducing energi?

  1. langkah pertama adalah Anda memasuki step measurement. , yang paling bijak menggunakan device dengan fitur auto data collection, bukan manual reproting. Hari ini , komunikasi yang terbaik dari sisi durabilitas data dan kecepatan data adalah menggunakan Power meter dengan komunikasi modbus TCP/IP.  Komunikasi modbus rtu sudah mulai ditinggalkan. Karena sudah teknologi lama. Berapa alasan kenapa kita menganjurkan untuk menggunakan kasih modbus TCP akan saya Uraikan di bawah nantinya.
  2. Langkah kedua adalah visualisasi. Setelah melakukan measurement, visualisasi data konsumsi energi per departemen atau per proses . Kemudian kualitas arus , voltage, Frakuensi, harmonic serta konsumsi KWH, power Factor dan lain-lain.
  3. Langkah ketiga adalah reduce energi. Tahap ini sangat kritikal terdiri atas beberapa step :
    1. Untuk mereduksi energi harus mau melihat dan mempelajari kondisi sekarang. Mengenal betul tipikal proses produksi, dan elektrikal facility yang terlibat di dalamnya.
    2. Lihat potensi penghematan kira-kira di mana yang bisa dilakukan penghematan. Ini memerlukan observasi dan data.
    3. Dari beberapa potensi penghematan kita akan membuat target. Berapa penghematan bisa dilakukan.
    4. Tetapkan Baseline Baseline : nilai acuan kinerja energi pada saat base year yang akan digunakan sebagai pembanding dan menetapkan apakah kinerja energi meningkat (hemat) atau menurun (boros)
    5. Absolut EnPI : Kwh, Ton Batubara, M3 Gas (layak digunakan kalau tidak ada variabel yg berpengaruh terhadap konsumsi energi)energi Intensity : Kwh/pcs produk (berlaku kalau baseload =0) Persamaan regresi : Kwh = 10 x Pcs product + 100 kwh. (berlaku jika : R2 diatas 0.75, P value< 0.05, F value < 0.01)
  4. Langkah keempat adalah Auto Reporting System. Sebagai bagian dari "fungsi manage", maka Auto Report yang bisa mengakumulasi segala penyimpangan yang terjadi atau abnormality terkait dengan pemborosan energi, aktual konsumsi dll tanpa manual report. jauh dari kertas dan ballpoint secara realtime. tervisualisasi, terintegrasi, decentralisasi, serta flexible.

Penting :
"ada fakta yang tidak bisa diganggu gugat sebagai Manufacturing. 70% pemborosan atau energi loss di karena proses downtime mesin dan fasiliyas produksi lainnya, sedangkan 30% adalah penyebab lain nya"

Pemborosan karena downtime apa?. Pemborosan yang disebabkan dari proses produksi yang tidak efektif. Mesin jalan tapi tidak ada output salah satunya. 

30% adalah penyebab lainnya ini diakibatkan beberapa faktor seperti power factor, kejadian disturbance seperti undervoltage, overvoltage, harmoniq unbalance voltage, fluctuation power frequency variation.
Untuk mengukur ini semua diperlukan kecepatan data dari transfer Power Meter. Artinya power meter punya kemungkinan untuk  mengirim banyak  data sekaligus menyangkut power factor undervoltage harmoniq, unbalancing, fluctuation power, frequency variation dalam sekali kirim kepada data Logger atau pooling data.

Itu kenapa power meter seperti Schneider. Mitsubishi, Panasonic, Siemens mempunyai variasi model power meter macem-macem harganya masing-masing. ada yang menggunakan Mod bus RTU, ada yang menggunakan modbus TCP. Mempunyai harga yang beraneka ragam pula. Yang paling tinggi kualitas dari pengiriman data sampai dengan hari ini adalah komunikasi dengan modbus TCP/IP. Juga searah dengan backbone IIOT yakni ethernet connection.

Catatan saya, modbus rtu masih bisa digunakan pada scada, karena scada tidak terlalu mementingkan informasi data di atas (tidak ada pengiriman data masiv ke pooling data atau centralize data). Hanya Satu Atau Dua apa saja yang sekali kirim kepada data Logger atau Pooling data.
Catatan saya, modbus rtu masih bisa digunakan pada scada, karena scada tidak terlalu mementingkan informasi data di atas (tidak ada pengiriman data masiv ke pooling data atau centralize data)

Mengapa Power meter dengan Komunikasi modbus TCP lebih baik dari Serial?

Apabila anda mengandalkan komunikasi modbus RT untuk mengirim informasi power factor undervoltage harmoniq, unbalancing, fluctuation power, frequency variation dalam sekali kirim kepada data Logger atau pooling data . Pengalaman kami sebagai integrator memastikan bahwa anda tidak akan dapat informasi sepenuhnnya. Alias data tidak masuk. Hanya model komunikasi modbus TCP yang bisa memungkinkan untuk itu semua. Ditambah dengan manajemen traffic data. 

Kedua adalah topologi dari modbus RTU menghendaki semua dalam status "on" yah setiap harinya, karena topologi serial. Artinya jika salah satu dalam status of maka data tidak masuk.  Perusahaan wajib menyediakan 1 source elektrikal yang independen di luar dari mesin.

Ketiga adalah bicara tentang kecepatan data banyaknya data yang terkirim, maka modbus RTU
hanya sepersepuluh kecepatannya dibandingkan dengan modbus TCP.
kami sebagai system integrator khusus untuk manufacturing sangat sarankan Jika anda ingin melakukan measurement dan punya visi besar "Digital Factory " terkait dengan mesin produksi sebaiknya menggunakan power meter yang punya konektivitas modbus TCP/IP.  Kenapa?,  karena faktor 30% losses akan anda bisa hitung dengan akurat.  Gunakan device dan system yang tepat. Salam Digitalisasi.

AUTO OEE wajib, bukan OPTION !


Kali ini, saya akan menjelaskan dengan ringan, bagaimana auto oee scoring, memiliki dampak yang signifikan buat perusahaan. Pada penjelasan sebelumnya, saya sudah uraikan bagaimana seluk-beluk manual oee scoring ( oee scoring yang dihasilkan dengan kalkulasi manual serta reporting manual), beserta berbagai efeknya, dibandingkan dengan AUTO OEE scoring.

Cek disini : https://askvmtech.blogspot.com/2019/12/ada-apa-dengan-manual-oee-overall.html

Ilustrasi sebuah auto oee scoring :

OEE scoring adalah suatu aktivitas pengecekan kesehatan atau medical check up seseorang terhadap beberapa parameter, sehingga dikatakan sehat atau tidak sehat.

OEE scoring adalah raport anak SD. Seorang anak dikatakan juara 1, ketika mempunyai nilai tinggi pada mata pelajaran matematika, bahasa dan sejarah.

OEE adalah dashboard sebuah mobil, memberikan informasi kepada driver untuk mengurangi atau mempercepat Laju kendaraan. tanpa dashboard speedometer, maka seorang sopir hanya bisa mereka-reka.

Saya lebih tertarik dengan ilustrasi raport anak SD . Hal ini sama dengan OEE scoring di lantai produksi.  Bedanya hanya terletak dimana raport anak SD tersebut diaplikasikan di mesin atau fasilitas produksi. Dengan raport atau OEE scoring,

  • Seorang operator dapat mengkoreksi dirinya sendiri akan pencapaiannya di hari itu.
  • Seorang supervisor dapat mengetahui dengan tepat dan akurat, mesin mana yang selalu menjadi problem utama.
  • Seorang General Manager dari sebuah lantai produksi, dapat mengetahui persis masalah line produksi apa?, dari berbagai sisi.
  • Seorang purchasing bisa menempatkan mana skala prioritas dari pembelian sparepart yang punya pengaruh besar dengan pencapaian produksi.
  • Seorang Owner perusahaan dapat mengevaluasi dengan cepat dan tepat, terhadap permasalahan yang terjadi lantai produksi.

Ingat, bahwa seorang owner perusahaan menginvestasikan : Man, Material Method, Mother Nature, dengan harapan bahwa semuanya berjalan dengan presisi setiap harinya, untuk menghasilkan profit, demi kesejahteraan bersama. Termasuk kesejahteraan karyawan.

IBM perusahaan besar pernah mengibaratkan  Data "OEE scoring" sama dengan sistem peredaran darah . Pada tubuh kita, semua nutrisi yang berguna bagi tubuh, termasuk polutan yang merugikan, ditransfer oleh sistem peredaran darah.

Dengan demikian tubuh akan memperoleh nutrisi yang dibutuhkan untuk berkembang. Sebaliknya, Jika polutan juga terdistribusi ke bagian tubuh. Polutant menyebabkan tubuh mengalami gangguan kesehatan. Dan manusia merespons dengan pengobatan.

Bayangkan , jika sistem peredaran darah, dalam hal ini OEE scoring terganggu oleh tingkat kolesterol, kekentalan darah, kekurangan sel darah putih dll. Nutrisi yang seharusnya berguna buat tubuh, dan polutan yang seharusnya terdeteksi,  tidak tersampaikan dan tidak terdistribusi oleh peredaran darah. Apa yang terjadi ?, kita akan kesakitan dan suatu saat kritis.

Hal-hal baik terjadi di lantai produksi, juga hal-hal buruk dan negatif yang terjadi di produksi tidak tersampaikan kepada top management. Tidak ada transparansi dan visualisasi. Semua bicara feeling.  Mohon maaf terkadang asal bapak senang, dan sudah menjadi kebiasaan (Culture). Data tidak terdistribusi dengan baik, tidak Real Time.

Bayangkan, jika itu adalah badan organisasi perusahaan anda?. pasti akan mengalami kesulitan dan kesakitan. Dan jika sudah kronis, perusahaan anda sewaktu-waktu akan bangkrut seperti bom waktu. Karena menyimpan permasalahan terus menerus dengan cara yang salah.

Banyak perusahaan Manufacturing yang mengalami hal seperti itu. Bahkan BUMN sebagai Usaha Milik Negara akhirnya harus ditutup, karena rugi terus, defisit terus dari waktu ke waktu.

Kenapa harus OEE ?

Sebenarnya, banyak tools yang bisa menjadi dashboard atau cermin buat perusahaan tentang lantai produksi. Tapi apakah se efektif, se komprehensif OEE SCORING?

Jawabannya : tidak ada selain OEE scoring.

JIPM - Japan Institute plant maintenance telah menegaskan bahwa OEE adalah data matriks yang menggambarkan performance dari sebuah Manufacturing. OEE adalah indikator keberhasilan dari total productive maintenance atau TPM. OEE adalah Key performance Indicator dari orang produksi, bahkan dari sebuah perusahaan manufacturing. Apapun line business nya.

Kami VMTECH, telah berkeliling berbagai macam jenis Manufacturing. Apakah dia automotive industry seperti Toyota, Honda, Daihatsu. Juga berbagai perusahaan food dan farmasi. Kesimpulannya adalah : OEE adalah tuntutan report dari top manajemen terhadap orang produksi. Meskipun beberapa masih melakukan secara manual, namun ini jauh lebih baik dari pada tidak ada sama sekali.

Dan perlu diketahui bahwa rumusan OEE yang digunakan di  perusahaan besar yang saya sebutkan di atas, menggunakan standar dari JIPM ( Japan Institute plant maintenance). Artinya sudah JIPM OEE sudah menjadi benchmark internasional.

Ketika perusahaan menyampaikan 85% scoring OEE, Artinya bahwa perusahaan tersebut adalah World Class Company yang diakui di seluruh dunia. Diakui oleh dunia Manufacturing. Sekali lagi : apapun line bisnis Manufacturing nya.

Dari alasan-alasan diatas , Bapak Ibu sudah mendengarkan bahwa OEE scoring sangatlah penting. Sesungguhnya di manufacturing , lantai produksi memegang peranan penting bagi perusahaan. Dominasi uang yang beredar di lantai produksi menjadi alasan utama bagi investasi software dan hardware OEE. Dimana seluruh aspek yang terlibat dalam proses produksi sudah selayaknya dimonitoring dengan system yang lebih baik.

Terimakasih.

(Free Consultation) 081381250600

Ada apa dengan Manual OEE ( Overall Equipment Effectiveness)


Manual skor OEE atau  kalkulasi manual OEE (overall equipment effectiveness), tidak banyak membantu perusahaan manufacturing untuk bisa berkembang. Manual kalkulasi OEE berguna hanya  sebagai pembelajaran bagi karyawan khususnya operator dan tingkat supervisor. Pembelajaran ini meliputi : Penjelasan OEE keterkaitannya dengan TPM (Total Productive Maintenance) , Rumus dan  perhitungannya OEE, serta teoritikal dari Availibility, Performance dan Quality Rate.

Kenapa dikatakan  manual OEE hanya cocok sebagai materi pembelajaran?,  dan tidak cocok untuk dijadikan report produksi sehari-hari pada pabrik anda?. Berikut beberapa alasannya :
  1. 1. Report dalam bentuk informasi mempunyai dua efek atau impact yang didapatkan. Jika informasinya benar maka akan sangat membantu, namun jika informasinya salah atau menyesatkan, maka arah fokus improvement bisa salah. 
  2. Probabilitas kesalahan dari manual OEE sangat besar. Kenapa? Manual entry, manual kalkulasi, dilakukan oleh orang bisa terjadi kesalahan paralaks dan kelelahan fisik.
  3. Kejadian minor stop, cokote, dibawah cycle time dalam interval 1 detik, 2 detik, 3 detik, bahkan 1 menit tidak bisa tertangkap oleh orang. Jika hal ini diulang-ulang setiap shift, setiap hari dan setiap bulan nya, maka losses yang banyak terjadi tidak bisa terlihat.
  4. Kalkulasi OEE bukan pekerjaan mudah.  Tidak pernah bisa dilakukan dengan cepat, apalagi real time. Butuh 1 hari, 2 hari , bahkan terkadang satu minggu operator baru bisa memunculkan nilai OEE mesin di lantai produksi. Padahal kejadian sudah selesai.
  5. Notifikasi masalah tidak pernah realtime, mengandalkan daya  ingatan orang. Tidak sedikit pabrik  menggunakan interface untuk memasukkan data produksi  melalui  PC desktop. Namun ketika PC desktop tidak terhubung langsung dengan trigger mesin atau sensor, maka informasi dan report produksi tidak bisa real time.
  6. Perlu diingat bahwa operator mempunyai pekerjaan utama  untuk mengoperasikan mesin dan mendapatkan output produksi. Terkadang administrasi seperti reporting tidak menjadi prioritas bagi operator. Sehingga sering mengabaikan report manual.
  7. 7. Manual entry atau manual kalkulasi OEE, tidak pernah  bisa sesuai antara waktu kerja yang tersedia atau Operation Time dengan output yang dihasilkan oleh mesin atau line produksi. Manual tidak akan pernah bisa cocok secara perhitungan . Artinya pasti ada usaha untuk mencocokkan secara manual. Mengakali agar supaya hasilnya bisa sesuai.
  8. Data manual skor OEE punya kredibilitas rendah dimata semua orang. Di  mata tim  maintenance. Di mata tim  Engineering, dan  di mata top management. Sehingga terkesan sebagai formalitas saja. Tidak  digunakan sebagai satu tools yang pada tempatnya.
  9. Sebagaian besar pabrik yang melakukan manual OEE tidak bisa menjadikannya sebagai bahan untuk improvement. Lagi-lagi hanya menjadi formalitas belaka.
  10. Manual skor OEE tidak bisa diteruskan untuk analisa lebih lanjut terkait dengan Seven Tools dan Machine Learning Algoritma. Report akan berhenti begitu saja.
  11. Aktivitas manual skor OEE jika tidak mempunyai dampak positif buat perusahaan, bahkan cenderung mengurangi waktu pekerjaan efektif akan menjadi losses yang besar buat perusahaan jika diulang dari hari ke hari, ke bulan dan tahun ke tahun. Sangat berlawanan dengan konsep lean manufacturing.


Nah, sekarang sudah jelas kalau manual skor OEE  itu terkadang bukan membantu operator , bahkan dianggap menyusahkan. Ini kami temui di beberapa pabrik. Menurut kami, Manual OEE tidak sepenuhnya punya konotasi negatif. Tahap manual skor OEE lebih baik,  dari pada tidak sama sekali.

Pabrik yang sudah  melakukan manual skor OEE dan reportingnya,  jauh lebih baik kondisinya ketika  mengadopsi automatis skor  OEE.

Sedikit tentang AUTO OEE SCORING

Automatis skor  OEE  adalah  kombinasi software dan hardware,  dalam satu sistem  monitoring reporting OEE. Untuk menghitung  skor OEE (Overall equipment effectiveness), sumber data  didapatkan langsung dari mesin, kemudian diolah secara Real Time oleh Edge Computing.  Sumber data yang terdiri atas trigger mesin seperti starting, running mesin,  stop mesin,  Down time mesin,  serta problem mesin di ambil secara automatik dalam platform Auto Data Collecting System.   Skoring OEE yang didapat dengan system ini adalah automatis dan real time,  seiring dengan jumlah output yang keluar dari mesin atau  lini produksi.

Tidak hanya itu,  sistem automatik skor OEE mengakomodasi  variabel-variabel yang terlibat dalam proses produksi  seperti variasi produk,  variasi cycle time,  variasi packanging,  pergantian lot produksi atau batch, sesuai dengan aturan ISO pabrik .  Semua berjalan secara otomatis, membantu pabrik mencapai predikat sebagai worl class company.

The Basic difference between PLC and Microcontroller



The basic difference between PLC and Microcontroller is as below.

1. The IO capacity of PLC is more than Microcontroller, Microcontroller does not have IO capacity in thousands.    example :    Temperature value 56 celcius,  you need I/O for Upper limit, lower limit, standart limit, alarm etc. each value needs I/O.

2. PLC having more than one CPU or Processor inbuilt where Microcontroller  does not have.

3. Watchdog for the PLC is faster than Microcontroller , means scan cycle time of PLC is more than Microcontroller.

4. PLC has a redundancy in failure condition, Microcontroller does not have.

5. PLC (Remote IO) can be placed and operated in hazardous area, Microcontroller can not work in that type of area.

6. PLC can communicate on different protocols , Microcontroller can not support all protocols.

7. PLC is more reliable and robust to use for industrial application so controller failure possibility is very less in case of PLC, where Microcontroller can fail any time.

8. Microcontrollers are not designed with the ruggedness and ability to withstand extreme conditions like PLCs. This makes them not ready for industrial applications.

9. Industrial sensors and actuators are usually designed according to the IEC standard which is usually at a range of current/voltage (24V DC) and interfaces which may not be directly compatible with microcontrollers and will require some sort of supporting hardware which increases cost.

WHICH ONE THE BEST FOR DATA AQUISITION?

It really depends on realtime and functional safety requirements. If you need hard realtime response, MCU based PLC is still the right choice.  If  realtime is no needed, simple remote actuators and sensors where the logic and algorithm are centered at industrial datacenter much better in low price.

Digitalisasi BUMN khusus pengolahan atau manufacturing



Pada Manufacturing atau proses pengolahan fisik barang,  Sepatutnya  disadari bahwa uang anda dominan berputar di lantai produksi atau di shopfloor. Ada pembelian mesin, ongkos tenaga kerja, biaya listrik, overhead, kerugian akibat rejection, kerugian akibat waktu mesin nganggur, pergantian sparepart, electricity Down dll.

Karena uang pada manufacturing proses dominan beredar di lantai produksi, maka sudah sepantasnya lantai produksi dimonitor dan dikontrol sebaik dan seketat mungkin. Ada transparansi, ada visualisasi,  ada integrasi  dan interkoneksi, ada smart devise ditempatkan di lantai produksi.

Hari ini, ada 31 perusahaan BUMN bergerak dalam bidang pengolahan atau manufacturing proses. 50% diantaranya sudah menggunakan SCADA. SCADA bukanlah segala-galanya.

SCADA adalah supervisi control aquisition  data. Adalah salah satu teknology kontrol yang hanya berkutat pada Parameter mesin. Seseorang yang menggunakan SCADA berada didepan sebuah monitor atau room control, dapat memperlambat Speed, tekanan, menutup valve atau membuka valve tanpa harus ke lapangan.

Beberapa BUMN sudah menggunakan sistem ini untuk memudahkan jalannya produksi sekaligus mengontrolnya. Namun lagi-lagi, SCADA hanya  berkutat pada parameter mesin bukan parameter manajemen. SCADA adalah bagian dari otomatisasi, sebagai ciri khas dari industrial 3.0, menggantikan orang untuk mengontrol parameter mesin. Sekaligus menghasilkan data.


Hari ini, ini BUMN pada industri pengolahan,  seharusnya sudah bergerak menuju implementasi industrial 4.0 yang sesungguhnya, dimana parameter mesin bergerak menuju parameter manajemen. Hasil dari automation dalam bentuk data-data, diolah untuk menghasilkan informasi yang berguna untuk manajemen BUMN. Hal ini dilakukan secara auto data collection langsung dari mesin dan fasilitas produksi, bukan manual input, manual entry dan manual kalkulasi. Terjadi pergeseran dari parameter mesin menuju parameter manajemen.



Parameter management atau Key performance indikator diwujudkan dalam suatu konsep MES (Manufacturing Executin System) software & hardware. MES berisikan variable-variable di lantai produksi untuk menghasilkan informasi. Ada 21 KPI pada lantai produksi, yang relevan dengan teknologi saat ini, antaralain :
1 Capacity Utilization
2 On Standard Operating Efficiency
3 Overall Operating Efficiency
4 Overall Equipment Effectiveness OEE
5 Machine Downtime
6 Unscheduled Down Time
7 Machine Set Up Time
8 Inventory Turns
9 Inventory Accuracy
10 Quality
11 First Pass Yield
12 Rework
13 Scrap
14 Failed Audits
15 On-Time Delivery
16 Customer Returns
17 Training Hours
18 Employee Turnover
19 Reportable Health & Safety Incidents
20 Revenue per Employee
21 Profit per Employee

Ditambah dengan algoritma machine learning dan Big Data. Manajemen bisa memperoleh data yang akurat dan presisi untuk memprediksi serta mengoptimasi seluruh parameter yang terlibat dalam proses produksi. Upaya peningkatan produktivitas akan optimal dan cepat untuk digapai.

Bagaimana mewujudkan itu?, secara garis besar ada tiga hal yang harus disiapkan :
1. People dan organisasi,
2. Teknologi serta
3. Business transformasi. Kami bisa bantu set up itu semuanya dengan pengalaman yang kami dapatkan dalam mengimplementasi digitalisasi terhadapa multi nasional company di indonesia.
Cari kami di Inovator4id.

21 Production KPI Examples Updated for 2020 to Improve Manufacturing Performance

Ini Ada Artikel Bagus  dan kekinian
dari : https://www.rhythmsystems.com/blog/21-production-kpi-examples-to-improve-manufacturing-performance

21 Production KPI Examples for the Manufacturing Industry

  1. Capacity Utilization – This measures how much of your available capacity you are actually using on your production line. The higher the better. Buildings and equipment are expensive assets and you want to maximize their use. It also helps to manage what you sell by production center so you do not over or undersell a particular manufacturing line, thereby balancing the workload.
  2. On Standard Operating Efficiency – If you have a piece rate or incentive system in place, you want to measure how employees are performing against the labor standards you used to cost the product. If these numbers are low, it is beneficial to examine methods and do post-production analysis. It is very common for companies to underestimate labor costs, and this KPI can help you identify this.
  3. Overall Operating Efficiency (OOE)– This is one of my favorites because it includes on standard time as well as off standard time. You are trying to maximize this percentage so that employees are adding value the majority of the time they are clocked in and present. 
  4. Overall Equipment Effectiveness OEE– This metric measures the overall effectiveness of a piece of production equipment or the entire line. Availability x Performance x Quality. This is a great KPI to maximize to ensure you are running the plant effectively.
  5. Machine Downtime – This KPI and the two below are components of OEE above, but worth measuring on their own. This includes scheduled downtime for maintenance, setups and unscheduled downtime and can include machine changeover.
  6. Unscheduled Down Time – This one can be a killer and one to minimize because it affects other processes in the production chain. Scheduled and predictive maintenance can help minimize unscheduled downtime. There are wireless sensors you can use which can help support predictive maintenance to reduce unscheduled downtime.
  7. Machine Set Up Time - A lot of production time can be lost to set up and changeovers. Implementing SMED (single minute exchange of dies or similar techniques) can really help keep this lost time to a minimum. Look for ways to incorporate parts of the set up so that they are internal to the process to avoid taking machines offline for any longer than you need to. Quick changeover setups also reduce this time.
  8. Inventory Turns – In today’s Lean environment and pull approach, keeping inventories to a minimum can really help free up cash and give you the ability to respond to changing customer needs much more efficiently and with better delivery times. It also keeps your on-hand inventory fresh and relevant to avoid obsolescence and mask quality problems. 
  9. Inventory Accuracy – There is nothing worse than putting a work order into production only to find your raw goods inventory was inaccurate. This either delays the start of production or causes delays in the line if the order happened to make it into process. I had a rule to never let an order begin production unless everything was available in-house for the order. This helps you manage and maintain your supply chain to keep the right amount of inventory on hand to keep things running.
  10. Quality – This is a no-brainer and table stakes today, but still necessary to measure. There are many ways to measure quality, and I am listing a few below for consideration. Percent defective is one of many ways you can measure quality. Establishing clear and consistent standards goes a long way to reaching your quality goals.  The only way to continuously improve is to learn from your mistakes, so don't just measure the quality - determine the root cause and fix it.
  11. First Pass Yield – The percentage of products manufactured correctly and to spec the first time through the process. Getting this number up reduces the next two listed.
  12. Rework – There is no bigger waste of time and raw materials than rework. Implementing quality at the source and effectively training people can go a long way to minimizing this waste.
  13. Scrap – Raw material costs are expensive so minimizing scrap is important. The more robust your processes and training programs are, the less scrap you are likely to produce. When you do produce scrap, do your best to recycle it if possible.
  14. Failed Audits – There is nothing worse than having a shipment ready to go out the door that fails a final quality control audit. Better here than on the customer's doorstep, but this still leads to rework, scrap and delays. The goal for this KPI should be 0 failed audits, and if it’s not, a root cause analysis is in order.
  15. On-Time Delivery – This is a KPI that really keeps customers happy but is also motivating to your production employees. Set the goal for 100% on-time weekly and consider rewarding your employees if they achieve it. Many of the other leading indicators mentioned help drive this one.  What percentage of total products are delivered on time?  Read this blog article to learn about KPIs, Culture, and Habits to Improve On-Time Delivery.
  16. Customer Returns – There is nothing worse than getting a defective product back from customers. Not only is it embarrassing, it ruins customer confidence. Even though this is a result indicator, it can help you determine problems in the production chain when you evaluate returned products. A good goal is to strive for zero returns.
  17. Training Hours – This is a great leading indicator that can drive a lot of the other KPIs on this list. Training doesn’t solve every problem, but there is no substitute for a good training and onboarding program. Too many companies still use the sink or swim method which creates a lot of problems. Tweet: Training doesn’t solve every problem, but there is no substitute for a good training and onboarding program. Too many companies still use the sink or swim method which creates a lot of problems. @RhythmSystems http://bit.ly/2INL73j
  18. Employee Turnover – Happy employees make happy customers. If your turnover is high, it is time to do some root cause analysis to determine why. Quality and efficiency problems often stem from high turnover due to training new inexperienced employees. 
  19. Reportable Health & Safety Incidents – Here's another KPI to strive for zero on. Many companies have embedded this in their culture. I grew up in a big railroad town, and I remember driving past the billboard of a locomotive where they would list how many days achieved with zero accidents. Very motivating for employees and something they were proud of. Accidents drive up workers' compensation rates and are hard on employee morale.
  20. Revenue per Employee – This is a basic indicator but can be a quick helpful way to see how the operation is doing overall; improving, standing still or becoming less efficient. It is also a good metric to use to compare your company against others in a similar industry.  
  21. Profit per Employee – I like this KPI even more than the one above. Even though it’s lagging, it takes into consideration how well you are doing on many of the leading indicators above. Revenue per employee may look good, but you may see you have opportunities to improve profitability.

    oee calculation tpm adalah analysis software hardware plc application availability performance quality analytics free download open source comparison price applicatin wonderware rockwell www vmtech indonesia making indonesia 4.0 pabrik oee filling oee packing jakarta surabaya medan

Seandainya saya Bos BUMN

Bukan siapa-siapa, hanya punya imajinasi besar untuk negeri ini.

Hari ini, ini siapa yang punya duit banyak? Selain konglomerasi swasta?, siapa yang mendominasi dan menggerakkan ekonomi maju atau mundurnya di negara ini?,

BUMN

Semua proyek dan mega proyek di negara kita ini dikelola dan dilaksanakan serta dipertanggungjawabkan  oleh BUMN dan BUMN. Kenapa BUMN dan BUMN?, ya karena anak-anaknya BUMN juga, bahkan koperasi dan pensiunan BUMN ikut dilibatkan, di bawah perlindungan dan bendera BUMN.

Apakah ini sehat?, pemerintah BUMN regulator, operator serta eksekutif?,
Biarkan hasil yang bisa menjawab.

Hari ini saja BUMN sering katakan "merugi, berhutang",  bahkan ada yang dibekukan karena sudah tidak efisien. Bagaimana di saat bangsa ini sedang membangun, Krakatau Steel memecat dan merumahkan banyak sekali karyawannya. Kan aneh?

Kenapa?, apa salah satu dari banyak alasan adalah karena tidak efisien lagi. Lebih banyak losses, kerugian lebih banyak, utang dimana mana, gilaknya menjadi Hutang Negara. Kenapa banyak hutang? Ya karena sudah tidak efisien dan dari tahun ke tahun di pertahankan terus. Mau minjem istilah bung Rocky #memeliharadungu.

Pokoknya ribet, tidak transparan, tidak ter visualisasi, tidak kekinian, tidak smart, tidak terintegrasi, tidak Real Time, tidak modular, menganut paham kuno Sentralisasi. 

Bagaimana solusinya? 

Bentar dulu Bro, kenal kan dulu agan..
Seorang teknokrat, kerjaan saya kira-kira :
  1. Melakukan digitalisasi terhadap pabrik dan Manufacturing di Indonesia. Klien saya,  ya biasanya multinasional company dan Swasta perusahaan Manufacturing Tbk. 
  2. Saya sering melakukan transformasi Digital dari manual menjadi otomatis. 
  3. Saya membangun pondasi dari implementasi industrial 4.0 khusus untuk Manufacturing Processing 
  4. Saya punya pasukan avengers yang tergabung dalam komunitas inovator 4.0 level internasional yang bisa mewujudkan industrial 4.0, bahkan sampai supremasi kuantum. 

Jadi bagaimana solusinya ? 

Sekali lagi, saya hanya tertarik untuk menyoroti BUMN yang lini bisnisnya adalah Manufacturing.
Ada tiga hal yang mesti dilakukan :

1. Transformasi People dan organisasi. 

Nomor satu yang harus dilakukan, setuju sekali dengan gaya ya bang Erick Thohir, gebrakan pertama adalah BUMN butuh LEADERSHIP. Kita butuh satu tokoh leader yang bisa memimpin kita mengarungi era evolusi supply chain 4.0.

Dan Pak Ahok cocok untuk itu. Setuju sekali.
Selanjutnya adalah organisasi. Entah mengapa pikiran saya dan pikiran bank Erick Thohir sama. Kita butuh BUMN yang Lean,   yang Agile , serta lebih Produktif.
Semua sama-sama tau BUMN itu sudah terlalu gemuk, banyak pejabat  di dalam sana hanya titipan partai, tidak ada kerjaan signifikan dengan gaji selangit. Semua orang berlomba-lomba pejabat di BUMN dengan cara apapun.  Bang Erick Thohir sudah tahu itu, dan tepat sekali. Memangkas jebatan-jabatan yang tidak efektif dan efisien.

Selanjutnya yang mesti dilakukan oleh bang Erick Thohir adalah bagaimana Capacity Utility, serta data-data matriks dari lantai produksi bisa tercapture secara otomatis tanpa manual entry dan manual reporting.  Bang Eric Tahu persis pergerakan efektivitas manufacturing BUMN detik per detik. Semua KPI dievaluasi apakah relevan atau tidak, kalau belum ada KPI , maka segera di rumuskan KPI nya. Pada Manufacturing semua KPI dari berbagai lini sudah menjadi standar, tinggal sesuaikan dengan konsep Lean Manufacturing yang kekinian.

Nomor 2 yang harus dilakukan oleh bang Erick Thohir adalah collaboration, bagaimana sektor swasta diajak secara profesional. Saya garis bawahi secara profesional untuk bekerja dan menghasilkan profit sebesar besarnya untuk rakyat, sehingga tidak ada cerita BPJS bangkrut.

Nomor 3 BUMN harus menjadi sarana pengembangan education bagi seluruh karyawan untuk berkembang menjadi individu yang sesungguhnya adalah pelayan negara. Mengembalikan Hakiki BUMN sebagai sarana untuk kepentingan bangsa dan negara. Dan masih banyak lagi step2 berikutnya.

2. Transformasi Teknologi 

Transformasi teknologi adalah transformasi supply chain. Teknologi yang digunakan di hari ini adalah teknologi yang sejalan dengan industrial 4.0.

Banyak yang salah kaprah,  mohon maaf yang salah pengertian tentang industrial 4.0. Menyamakan konsep engineering atau topologi secara keseluruhan. Padahal pada prakteknya, manufacturing itu sangatlah kompleks, sangat dan jauh lebih kompleks dari pertanian, perkebunan, peternakan marketplace dan lain sebagainya.

Di manufacturing, ada ratusan bahkan ribuan sensor, ada ribuan selenoid, ada ratusan bahkan puluhan brand controller, ada macam-macam komunikasi. Ada berbagai macam mesin, yang ada data logger, PLC, bahkan manual pun masih ada, ada mesin yang di locked, pokoknya macam-macam tingkat kompleksitasnya.

Belum lagi variabel di shopfloor. Ada yang sifatnya multi SKU, multi batch, continuous Line atau individual mesin. Macam-macam. Oleh karena itu perlu sikap yang bijak dalam melakukan transformasi teknologi di Manufacturing.

Anda butuh berbagai macam disiplin ilmu dan keahlian, serta sistem integrator.
Yang lainnya, bisa saya sampaikan di lain kesempatan.

3. Transformasi Bisnis 

Ketika Manufacturing sudah berhadapan dengan data-data Real Time, visualisasi, transparansi, desentralisasi, integrated, serta modular. Selanjutnya business akan mengalami transformasi besar.

BUMN akan lebih lincah, agresif dan cenderung sangat fleksibel menjadi customer oriented, mampu bersaing, dan pada akhirnya akan lebih profit dari sebelumnya.

Keputusan-keputusan korporasi ditingkat shopfloot maupun top management didasarkan atas algoritma machine learning pada artifisial intelijen  memberikan akurasi lebih.

Dimensi-dimensi kualitas dari produk yang dihasilkan oleh Manufacturing BUMN akan mampu menjadi pemenang Dalam persaingan global.

Saya menjadi merinding bagaimana ketika Capacity Utilization, OEE, Machine Downtime, Rework, Inventory turn, Ontime delivery, Tracebility, Failure cost, Employe Revenue, Sales and forecasting bahkan Aktuator dijalankan oleh mesin learning.

Sudah tidak ada lagi peluang untuk korupsi, kolusi dan nepotisme. Semua akan berlangsung dengan sangat efektif dan efisien.

Kan keren...

Sekian dulu kira-kira imajinasi serta konsep , bagaimana seandainya saya menjadi Bos BUMN dari sisi tekokrat. Kita lanjutkan di lain kesempatan.

oee calculation tpm adalah analysis software hardware plc application availability performance quality analytics free download open source comparison price applicatin wonderware rockwell www vmtech indonesia making indonesia 4.0 pabrik oee filling oee packing jakarta surabaya medan

Advance OEE (Overall equipment effectiveness) part #1

Apa itu Advance OEE ? Advance OEE adalah bukan OEE biasa, melainkan adalah bentuk OEE yang sudah diadaptasi dengan perkembangan teknologi d...